Rabu, 14 Januari 2015

Permasalahan Anak Jalanan

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Anak jalanan adalah fenomena nyata bagian dari kehidupan. Fenomena nyata yang menimbulkan permasalahan sosial yang komplek. Keberadaan anak jalanan diabaikan dan tidak dianggap ada oleh sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat awam. Anak jalanan, dipercaya semakin tahun semakin meningkat jumlahnya. Pada era runtuhnya orde baru, terjadi krisis moneter yang membuat kemiskinan meningkat. Salah satu dampak dari kemiskinan adalah adanya anak jalanan. Meningkatnya angka penduduk miskin telah mendorong meningkatnya angka anak putus sekolah dan meningkatnya anak-anak terlantar. Pada umumnya anak-anak terlantar mengalami masalah ganda seperti kesulitan ekonomi, menderita gizi buruk, kurang perhatian dan kasih sayang orang tua, tidak bisa mendapat layanan pendidikan secara maksimal, dan lain sebagainya.
Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Pada tahun 1998, menurut Kementrian Sosial menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400%. Dan pada tahun 1999 diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak dan 10% diantaranya adalah perempuan. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering dilanggar.
Menurut Departemen Sosial RI (2006:1), ketelantaran pada anak secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yakni (1) faktor ketidaksengajaan atau dengan kata lain karena kondisi yang tidak memungkinkan dari orang tua atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan anaknya, (2) faktor kesengajaan untuk menelantarkan anaknya karena rendahnya tanggung jawab sebagai orang tua atau keluarga terhadap anaknya. Pada dekade terakhir, permasalahan anak terlantar menjadi salah satu permasalahan krusial baik dilihat dari kompleksitas masalah maupun kuantitas dari anak terlantar yang semakin meningkat. Kondisi ini didasari karena kondisi makro sosial ekonomi yang belum kondusif. Pada sisi lain ternyata masih terdapat pemahaman yang rendah mengenai arti penting anak oleh masyarakat, serta komitmen dan tanggung jawab orang tua atau keluarga yang cukup rendah, sehingga menyebabkan ketelantaran pada anak. Anak terlantar merupakan salah satu masalah kesejahteraan sosial yang membutuhkan perhatian secara khusus. Selain karena jumlah yang cukup besar, masalah anak terlantar memiliki lingkup dan cakupan yang tidak bisa berdiri sendiri namun saling terkait dan saling memengaruhi bila kebutuhan dan hak mereka tidak terpenuhi.
Seperti yang tercantum dalam Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar (Departemen Sosial RI, 2008:1), permasalahan anak terlantar dapat kita lihat dari berbagai perspektif, diantaranya; 1) anak terlantar yang mengalami masalah dalam sistem pengasuhan seperti yang dialami anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu, anak dari orang tua tunggal, anak dengan ayah/ibu tiri, anak dari keluarga yang kawin muda, dan anak yang tidak diketahui asal-usulnya (anak yang dibuang orang tuanya); 2) anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhan seperti anak yang mengalami tindak kekerasan baik secara fisik, sosial maupun psikologis, anak yang mengalami eksploitasi ekonomi dan seksual serta anak yang diperdagangkan; 3) dan anak yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi seperti anak yang kurang gizi dan anak yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Hal inilah yang terjadi pada anak jalanan. Anak jalanan merupakan salah satu bagian dari anak terlantar. Anak jalanan adalah contoh dari anak-anak yang terlantar, baik dari pengasuhan maupun pendidikannya. Keberadaan dan berkembangnya anak jalanan merupakan persoalan yang perlu mendapat perhatian. Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial RI, 2005: 5).
Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 6 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi. Masalah anak jalanan masih merupakan masalah kesejarteraan sosial yang serius dan perlu mendapat perhatian. Hal ini mengingat bahwa anak-anak yang hidup di jalan sangatlah rentan terhadap situasi buruk, perlakuan yang salah dan eksploitasi baik itu secara fisik maupun mental. Hal ini akan sangat mengganggu perkembangan anak secara mental, fisik, sosial, maupun kognitif, serta anak tidak mendapatkan hak dalam memperoleh pendidikan dan penghidupan yang layak. Kondisi yang tidak kondusif di jalanan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi anak akan berpengaruh pula pada kehidupan anak di masa mendatang. UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 (2) menyatakan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi”. Melihat UU tentang perlindungan anak tersebut, seharusnya setiap anak mendapatkan hak yang sama, tidak terkecuali bagi anak jalanan. tetapi fenomena yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa hak tersebut belum didapatkan oleh anak jalanan.
Anak jalanan seperti halnya anak-anak lain, memiliki hak yang sama, yakni mendapatkan pengasuhan dan pendidikan yang layak. Namun fenomena-fenomena keterlantaran yang terjadi di masyarakat tersebut membuat anak jalanan harus hidup di jalanan yang jauh dari kesejahteraan yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam perkembangannya menuju kedewasan, tiap anak masih sangat membutuhkan dukungan dan pendampingan dari orang tua dan orang-orang sekitar agar mereka dapat melalui proses tumbuh kembang secara optimal. Begitu halnya dalam proses perkembangan menuju kedewasaaan. Dalam masa perkembangan seseorang, untuk menuju kedewasaan manusia melalui tahap transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, yakni disebut dengan masa remaja. Merujuk pada ciri-ciri anak jalanan yang dijelaskan oleh Departemen Sosial RI, bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 6 sampai 18 tahun dan menghabiskan banyak waktu untuk melakukan aktivitas di jalanan atau tempat-tempat umum. Dari ciri-ciri rentang usia anak jalanan tersebut, penulis mengkategorikan anak jalanan menjadi 2, yakni anak jalanan yang berusia anak-anak (6 – 11 tahun) dan anak jalanan yang berusia remaja (12 – 18 tahun). Kategori ini menunjukkan bahwa anak jalanan menurut usianya, juga mengalami tahap tumbuh kembang menuju kedewasaan yang penting untuk diperhatikan, yakni masa remaja.
Masa remaja merupakan masa yang penting untuk diperhatikan, karena di sinilah seseorang mengalami proses pencarian jati diri. Banyak fenomena-fenimoena anak jalanan remaja yang terjadi di masyarakat. Anak jalanan remaja sangatlah rawan untuk mendapatkan pengaruh yang tidak baik dari kehidupan jalanan yang keras. Mereka akan lebih berpotensi untuk melakukan tindak kejahatan ataupun berbagai tindakan negatif lainnya.
Dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan identifikasi permasalahan berkaitan dengan kepedulian pemerintah terhadap anak-anak jalanan yang notabene memiliki berbagai permasalahan baik secara pribadi maupun sosial yang dapat berpengaruh dalam perkembangan hidup dan dalam menentukan tujuan hidup mereka.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sikap pemerintah dalam melaksanakan fungsi dan peran dalam menangani pertumbuhan jumlah serta persoalan anak jalanan sebagai mandat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia?


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Anak Jalanan
Menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 6 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Selain itu, Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Adapun waktu yang dihabiskan di jalan lebih dari 4 jam dalam satu hari. Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan demi mencari nafkah, baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang tuanya. Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang sebagian waktunya mereka gunakan di jalan atau tempat-tempat umum lainnya baik untuk mencari nafkahmaupun berkeliaran. Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak yang rela melakukan kegiatan mencari nafkah di jalanan dengan kesadaran sendiri, namun banyak pula anak-anak yang dipaksa untuk bekerja di jalan (mengemis, mengamen, menjadi penyemir sepatu, dan lain-lain) oleh orang-orang di sekitar mereka, entah itu orang tua atau pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah. Ciri-ciri anak jalanan adalah anak yang berusia 6 – 18 tahun, berada di jalanan lebih dari 4 jam dalam satu hari, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, dan mobilitasnya tinggi.
2.2 Karakteristik Anak Jalanan
2.2.1 Berdasarkan Usia
Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Selain itu dijelaskan oleh Departemen Sosial RI (2001: 23–24), indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.
2.2.2 Berdasarkan Pengelompokan
Menurut Surbakti dkk. (1997: 59), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok yaitu: Pertama, Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak- di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Kedua, Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan.
Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.
Menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP di Jakarta dan Surabaya (BKSN, 2000: 2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu:
1) Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria:
a)      Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya
b)      8 – 10 jam berada di jalanan untuk bekerja (mengamen, mengemis, memulung) dan sisinya menggelandang/tidur
c)      Tidak lagi sekolah
d)      Rata-rata berusia di bawah 14 tahun
2) Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
a)      Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
b)      8 – 16 jam berada di jalanan
c)      Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua atau saudara, umumnya di daerah kumuh
d)      Tidak lagi sekolah
e)      Pekerjaan: penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir, dll.
f)        Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
3) Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:
a)      Bertemu teratur setiap hari/tinggal dan tidur dengan keluarganya
b)      4 – 5 jam bekerja di jalanan
c)      Masih bersekolah
d)      Pekerjaan: penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, dll
e)      Usia rata-rata di bawah 14 tahun
4) Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:
a)      Tidak lagi berhubungan/berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
b)      8 – 24 jam berada di jalanan
c)      Tidur di jalanan atau rumah orang tua
d)      Sudah taman SD atau SMP, namun tidak bersekolah lagi
e)      Pekerjaan: calo, mencuci bus, menyemir, dll.
2.2.3 Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis
Anak jalanan memiliki ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23–24), karakteristik anak jalanan pada ciri-ciri fisik dan psikis, yakni 1) Ciri Fisik: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, pakaian tidak terururs, dan 2) Ciri Psikis meliputi mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, serta kreatif. Sedang menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan berdasarkan ciri-ciri fisik dan psikis mereka adalah:
1) Ciri-ciri fisik
a)      Penampilan dan warna kulit kusam
b)      Rambut kemerah-merahan
c)      Kebanyakan berbadan kurus
d)      Pakaian tidak terurus
2) Ciri-ciri psikis
a)      Mobilitas tinggib) Acuh tak acuh
b)      Penuh curiga
c)      Sangat sensitif
d)      Berwatak keras
e)      Kreatif
2.2.4 Berdasarkan Intensitas Hubungan dengan Keluarga
Aktivitas utama anak jalanan adalah berada di jalanan baik untuk mencari nafkah maupun melakukan aktivitas lain. Hal ini membuat intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka kurang intensif. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23), indikator anak jalanan menurut intensitas hubungan dengan keluarga, yaitu:
1)   Masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari
2)   Frekuensi dengan keluarga sangat kurang
3)   Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga
Selain itu, menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2000: 2-4), intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tua, berhubungan tidak teratur dengan orang tua, dan bertemu teratur setiap hari atau tinggal dan tidur bersama orang tua mereka. Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62), beberapa macam intensitas anak jalanan dengan keluarga mereka adalah: hubungan orang tua sudah putus, masih ada hubungan dengan orang tua tetapi tidak harmonis, maupun pulang antara 1 sampai 3 bulan sekali. Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan berdasarkan intensitas anak jalanan berhubungan dengan keluarga ada tiga macam, yaitu:
1)   Masih berhubungan teratur dengan orang tua atau keluarga
2)   Masih berhubungan dengan orang tua atau keluarga tetapi tidak teratur dengan frekuensi sangat kurang
3)   Sudah tidak berhubungan lagi dengan orang tua maupun keluarga.
2.2.5 Berdasarkan Tempat Tinggal
Anak jalanan yang ditemui memiliki berbagai macam tempat tinggal. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut tempat tinggalnya adalah:
1)   Tinggal bersama orang tua
2)   Tinggal berkelompok bersama teman-temannya
3)   Tidak mempunyai tempat tinggal
Sedangkan menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2002: 13-15), beberapa macam tempat tinggal anak jalanan adalah: menggelandang atau tidur di jalanan, mengontrak kamar sendiri atau bersama teman, maupun ikut bersama orang tua atau keluarga yang biasanya tinggal di daerah kumuh. Menurut BKSN(2000: 61-62), beberapa tempat tinggal anak jalanan adalah:
1)   bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan, taman, terminal, maupun stasiun;
2)   bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman; dan 3) tinggal dan tidur bersama orang tua atau wali.
Dari berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan beberapa tempat tinggal anak jalanan adalah:
1)   Tidak mempunyai tempat tinggal sehingga menggelandang dan tinggal di jalanan serta tidur di sembarang tempat
2)   Mengontrak sendiri atau bersama dengan teman
3)   Tinggal bersama orang tua atau wali.
2.2.6 Berdasarkan Aktivitas
Dari definisi anak jalanan, dapat diidentifikasi bahwa anak jalanan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di jalanan. Berbagai macam aktivitas banyak dilakukan di jalanan. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah antara lain memiliki aktivitas: menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa. Menurut Departemen Sosial RI (2002: 13-15), aktivitas yang dilakukan anak jalanan di jalanan di antaranya adalah bekerja baik itu mengamen, mengemis, memulung, menjual koran, mengasong, mencuci bus, menyemir sepatu, menjadi calo, dan menggelandang. Selain itu Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62) menyebutkan bahwa beberapa aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah bekerja sebagai pengamen, pemulung, pengemis, penjual koran, pengasong, pencuci bus, penyemis, maupun calo; dan menggelandang.
Dari berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam aktivitas anak yang dilakukan di jalanan di antaranya adalah untuk bekerja maupun sekedar menggelandang. Aktivitas bekerja anak jalanan di antaranya adalah menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, dan menjadi penghubung atau penjual jasa.
2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Munculnya Anak Jalanan
Departemen Sosial (2001: 25-26) menyebutkan bahwa penyebab keberadaan anak jalanan ada 3 macam, yakni faktor pada tingkat mikro (immediate causes), faktor pada tingkat messo (underlying causes), dan faktor pada tingkat makro (basic causes). a. Tingkat Mikro (Immediate Causes) Faktor pada tingkat mikro ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Departemen Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:
1)   Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
2)   Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya masalah keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan pengangguran, perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam keluarga.
3)   Melemahnya keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi membantu terhadap keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh pergeseran nilai, kondisi ekonomi, dan kebijakan pembangunan pemerintah.
4)   Kesenjangan komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua sudah tidak mampu lagi memahami kondisi serta harapan anak-anak, telah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.
2.4 Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial adalah mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik, sedangkan menurut rumusan Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial pasal 2 ayat 1, adalah: “Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.
Salah satu ciri ilmu kesejahteraan sosial adalah upaya pengembangan metodologi untuk menangani berbagai macam masalah sosial, baik tingkat individu, kelompok, keluarga maupun masyarakat ( Adi, 1994: 3-5). Pengertian Kesejahteraan Sosial menurut beberapa ahli :
1.    Arthur Dunham: Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhankebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberi perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok, komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas; pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan pencegahan.
2.    Harold L. Wilensky dan Charles N. Lebeaux: Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk membantu individuindividu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar individu dan relasi-relasi sosialnya memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan kemampuankemampuannya serta meningkatkan atau menyempurnakan kesejahteraan sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3.    Walter A.Friendlander: Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bermaksud untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai standar-standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial yang memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan meningkatkan kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga maupun masyarakat.
4.    Perserikatan Bangsa-Bangsa: Kesejahteraan sosial adalah suatu kegiatan yang terorganisir dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan lingkungan sosial mereka. Tujuan ini dicapai secara seksama melalui tehnik tehnik dan metode-metode dengan maksud agar memungkinkan individuindividu, kelompok-kelompok maupun komunitas-komunitas memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah penyesuian diri mereka terhadap perubahan pola-pola masyarakat, serta melalui tindakan kerjasama untuk memperbaiki kondisi-kondisi ekonomi dan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai fungsi terorganisir adalah kumpulan kegiatan yang bermaksud untuk memungkinkan individu-individu, keluarga-keluarga, kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas menanggulangi masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan kondisi-kondisi. Tetapi disamping itu, secara luas, kecuali bertanggung jawab terhadap pelayanan-pelayanan khusus, kesejahteraan sosial berfungsi lebih lanjut ke bidang yang lebih luas di dalam pembangunan sosial suatu negara. Pada pengertian yang lebih luas, kesejahteran sosial dapat memainkan peranan penting dalam memberikan sumbangan untuk secara efektif menggali dan menggerakkan sumber-sumber daya manusia serta sumber-sumber material yang ada disuatu negara agar dapat berhasil menanggulangi kebutuhan-kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh perubahan, dengan demikian berperan serta dalam pembinaan bangsa.
5.    Alfred J.Khan: Kesejahteraan sosial terdiri dari program-program yang tersedia selain yang tercakup dalam kriteria pasar untuk menjamin suatu tindakan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan kesejahteraan, dengan tujuan meningkatkan derajat kehidupan komunal dan berfungsinya individual, agar dapat mudah menggunakan pelayanan-pelayanan maupun lembaga-lembaga yang ada pada umumnya serta membantu mereka yang mengalami kesulitan dan dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Sumarnonugroho,1987:28-35).
2.5 Usaha Kesejahteraan Sosial
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1974, Usaha-Usaha Kesejahteraan sosial adalah semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial (Sumarnonugroho, 1987:39). Usaha kesejahteraan sosial mengacu pada program, pelayanan, dan berbagai kegiatan yang secara konkret berusaha menjawab kebutuhan ataupun masalah-masalah yang dihadapi anggota masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial dapat diarahkan pada individu, keluarga, kelompok atau komunitas.
Beberapa contoh dari Usaha kesehjateraan sosial yang searah dengan tujuan pembangunan ekonomi adalah:
a.    Beberapa tipe unit usaha kesejahteraan sosial yang secara langsung memberikan sumbangan terhadap peningkatan produktifitas individu, kelompok ataupun masyarakat contohnya adalah pelayanan konseling pada generasi muda dan lain-lain.
b.    Jenis usaha kesejahteraan sosial yang berupaya untuk mencegah atau meminimalisir hambatan (beban) yang dapat dihadapi oleh para pekerja (yang masih produktif).
c.    Jenis usaha kesejahteraan sosial yang memfokuskan pada pencegahan dampak negatif urbanisasi dan industrialisasi pada kehidupan keluarga dan masyarakat atau membantu mereka agar dapat mengidentifikasi dan mengembangkan “pemimpin” dari suatu komunitas lokal.

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Aspek Regulasi Anak Jalanan
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen keempat disebutkan bahwa "fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara". Perlindungan hak-hak anak juga diatur dalam sejumlah undang-undang yang terkait yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen kedua disebutkan "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".
Selanjutnya dijelaskan bahwa perlindungan terhadap anak dan kesejahteraan anak di Indonesia telah tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 pasal 4 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada pasal 11 dijelaskan pula bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (Redaksi Sinar Grafika, 2003: 6-7).
Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 dijelaskan pula pada pasal 21 bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan anak-anak bangsa, tidak terkecuali anak jalanan yang notabene kurang memperoleh hak mereka sebagai seorang anak.
Tahun 1990 Negara Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak kedalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On TheRights Of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Setelah peratifikasian dilakukan, maka secara hukum menimbulkan kewajiban kepada negara Indonesia untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut.11 Akhirnya Tahun 2002 dibentuklah UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang disahkan dan diberlakukan di Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pada penjelasan umumnya menyebutkan anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Di Indonesia, Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Selain dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 sampai 34 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, hukum di Indonesia juga telah membebankan kepada orang tua, keluarga, dan masyarakat untuk bertanggung jawab dalam menjaga serta memelihara hak anak. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak. Negara maupun pemerintahbertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak terutama dalam menjamin pertumbuhan serta perkembangan anak secara optimal dan terarah. Dengan dikeluarkannya salah satu pengaturan tentang anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tersebut, diharapkan adanya kejelasan tentang batasan bagaimana anak dikatakan sebagai pekerja atau bukan. Kerangka Konseptual anak jalanan sebagai berikut :
a.    Menurut pasal 1 Konvensi Hak Anak, Anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagianak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.13
b.    Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mengatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
c.    Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
d.    Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
e.    Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,termasuk anak yang masih dalam kandungan (pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
f.      Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, mereka memiliki peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Anak agar kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi.
g.    Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
h.    Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya.
i.      Anak jalanan adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan guna mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya.
j.      Anak jalanan adalah yang berusia di bawah 18 tahun yang sebagian besar waktu dan aktivitasnya dihabiskan di jalanan. l. Anak jalanan adalah laki-laki atau perempuan yang  menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja dan hidup dijalanan dan di tempat-tempat umum seperti pasar, terminal, stasiun, dan taman kota.
k.    Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara (pasal 1 angka 12 UU Nomor 23 Tahun 2002).
Hak-hak anak ini diatur dalam pasal 4 sampai pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak-hak anak itu seperti:
b.      Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
c.       Hak untuk mendapatkan nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal5).
d.      Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya,dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).
e.       Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7 angka (1) ).
f.        Hak untuk diasuh sebagai anak asuh atau diangkat sebagai anak angkat (Pasal 7 angka (2) ).
g.       Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).
h.       Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).
i.         Hak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, serta perlakuan salah lainnya (Pasal 13 angka (1) )
j.        Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan peperangan (Pasal 15).
3.2 Aspek Aktor atau Kelembagaan yang Terlibat dalam Penanganan Anak Jalanan
Mencermati permasalahan anak yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, atas inisiatif Departemen Sosial RI, Tokoh Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi non Pemerintah dan Pemerintah, Media Massa, dan kalangan profesi serta dukungan United Nations Children’s Fund (UNICEF), pada tanggal 26 Oktober 1998 dibentuklah Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak). Perlindungan anak di Indonesia dalam penyelenggaraannya memiliki asas dan landasan yang kuat. Penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia berasaskan pada Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta memiliki prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi:
d.    Prinsip Non Diskriminasi. Prinsip ini artinya tidak membedakan anak berdasarkan asal usul, suku, agama, ras dan sosial ekonomi.
e.    Prinsip Kepentingan yang terbaik bagi anakPrinsip ini mempunyai arti bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,masyarakat,badan legislatif,dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
f.      Prinsip untuk hidup,kelangsungan hidup dan perkembangan. Prinsip ini maksudnya hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
g.    Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam mengambil keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Anak agar bisa menjadi generasi penerus keluarga dan bangsa yang kuat, maka hak-hak mereka haruslah dilindungi oleh pihak-pihak yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perlindungan anak seperti orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan juga negara.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan ditetapkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai program prioritas nasional yang meliputi Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita, Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar, Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan, Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Kecacatan dan Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.
Departemen Sosial RI melalui Kementerian Sosial (2010: 10) meluncurkan Program PKSA Kementerian Sosial RI dalam upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan anak meliputi subsidi kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial, penguatan orang tua/keluarga dan lembaga kesejahteraan sosial. Selain itu, dalam pedoman pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI (2010: 10), dijelaskan pula bahwa PKSA dibagi menjadi 6 kelompok (kluster) program, yaitu:
a.  Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKS-AB)
b.  Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar (PKS-Antar)
c.   Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS- Anjal)
d.  Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (PKS- ABH)
e.  Program Kesejahteraan Sosial Anak dengan Kecacatan (PKS-ADK)
f.    Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Perlindungan Khusus (PKS-AMPK)
Hal ini menunjukkan bahwa anak jalanan merupakan salah satu sasaran pemerintah dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) ini. Disebutkan pula dalam pedoman PKSA Kementerian Sosial RI (2010:34) bahwa, lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak jalanan, seperti Rumah Singgah, Rumah Perlindungan Anak dan lembaga sejenis lainnya.
Peran Kementerian Sosial dalam memberdayakan anak jalanan,  Program dan kegiatan Bidang Sosial dalam memberdayakan anak jalanan,  Peran LSM dalam memberdayakan anak jalanan, Hasil kemitraan antara Kementerian Sosial dalam memberdayakan anak jalanan. Bimbingan LSM, rumah singgah ataupun lembaga sosial lainnya yang diberikan kepada anak jalanan yaitu: a) bimbingan moral dan mental, b) bimbingan sosial, c) bimbingan hukum, d) bimbingan agama, dan e) bimbingan kesehatan. Sedangan pelatihan yang diberikan kepada anak jalanan meliputi: a) pelatihan otomotif, b) pelatihan mengemudi, c) pelatihan elektronika.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang desentralisasi pemerintahan daerah melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan, Kementrian Agama, Kepolisian, Dinas Pendidikan, dan Satpol PP  dalam memberikan pembinaan dan bimbingan anak jalanan. Sedangkan untuk kegiatan pelatihan, dinas Sosial dalam memberdayakan anak jalanan membuat program dan kegiatan bidang sosial dalam memberdayakan anak jalanan, LSM dalam memberdayakan anak jalanan dan hasil kemitraan antara Kementerian Sosial, dinas sosial, SKPD dengan lembaga swadaya masyarakat atau berbagai komunitas yang peduli terhadap pemberdayaan anak jalanan yang mengajak kalangan profesional untuk bekerjasama, seperti lembaga pelatihan mengemudi, elektronika, dan otomotif untuk memperbaiki masa depan anak jalanan dan mewujudkan kesejahteraan sosial disegala aspek tatanan masyarakat.
3.3 Aspek Pendanaan
Sumber pendanaan tidak semata bertumpu pada APBN tetapi menggalang juga kerjasama luar negeri, APBD, dan dukungan organisasi non-pemerintah dalam negeri maupun internasional, termasuk sumber pendanaan Corporate Social Responsibilty.
Sumber dana untuk kegiatan pelatihan anak jalanan dipengaruhi oleh faktor pendorong dalam pemberdayaan anak jalanan antara lain: a) adanya peran aktif LSM, b) koordinasi dengan SKPD lain, c) tersedianya dana walaupun terbatas, d) adanya donatur dari masyarakat dan swasta. Sedangkan faktor penghambat diantaranya: a) terbatasnya dana, sarana dan prasarana, b) terbatasnya sumber daya manusia, dan c) rendahnya kesadaran anak jalanan untuk mengikuti pelatihan.
Pengembangan Kemampuan Teknis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) dalam pelaksanaan program PKSA adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan personil dalam menyelenggarakan setiap tahapan pelayanan PKSA termasuk dalam pencarian sumber pendanaan program. Upaya tersebut meliputi antara lain:
g.  Pembuatan dan pengajuan proposal pencarian dana kepada lembaga-lembaga sosial, nasional maupun internasional
h.   Pembuatan dan pengajuan proposal pencarian dana kepada lembaga-lembaga usaha yang memiliki kepedulian sosial, termasuk upaya pemanfaatan kewajiban penyisihan dana untuk CSR (Corporate Social Responsibilities)
i.    Pembuatan dan pengajuan proposal pencarian dana dari sumber Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD)
j.    Penggalangan dana masyarakat

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Latar belakang anak menjadi anak jalanan, mempengaruhi pembentukan aspirasinya. Latar belakang anak menjadi anak jalanan meliputi awal anak menjadi anak jalanan yang merupakan motif anak turun ke jalan, pekerjaan orang tua yang menggambarkan kondisi perekonomian keluarga, pola asuh yang diterapkan dan berbagai pengalaman yang dialami anak selama hidupnya. Beberapa penyebab yang mengawali anak beraktifitas di jalanan antara lain adalah adanya modeling perilaku keluarga/saudara, keinginan untuk mandiri secara ekonomi dari orang tua, dan adanya paksaan dari orang tua. Dibalik kehidupan jalanan yang sulit, ada sebuah harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Aspirasi sesungguhnya didasari oleh kebutuhan dasar manusia untuk berprestasi (need for achievement) yaitu kebutuhan untuk mewujudkan keinginan dan berbuat yang lebih baik dari keadaan sekarang. Aspirasi hidup anak jalanan terdiri dari aspirasi pendidikan dan aspirasi pekerjaan, serta harapan-harapan yang pada intinya menginginkan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan di jalanan. Faktor personal berasal dari diri anak, sementara faktor situasional berasal dari lingkungan dalam hal ini berkaitan dengan pemerintah sebagai pemegang mandat dari undang-undang dan lembaga sosial beserta masyarakat umum.
Pemerintah melalui Kementrian Sosial mengeluarkan kebijakan, strategi dan program yang mampu mengurangi gap kesenjangan sosial anak jalanan. Perspektif analisis masalah dan kebutuhan, sistem penetapan target sasaran, pola operasional layanan, keberlanjutan layanan, dan sistem manajemen pelaksanaan layanan. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang mulai dikembangkan dan diuji cobakan untuk penanganan anak jalanan di lima wilayah. Belajar dari pengalaman implementasi awal tersebut, mulai 2010, layanan PKSA telah diperluas jangkauan target sasaran maupun wilayahnya, meliputi anak balita terlantar; anak jalanan dan anak terlantar; anak yang berhadapan dengan hukum; anak dengan kecacatan; serta anak yang membutuhkan perlindungan khusus lainnya seperti anak yang berada dalam situasi darurat, anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, korban kekerasan dan eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi, korban penyalahgunaan narkoba/ zat adiktif, penderita HIV/AIDS, dan anak dari kelompok minoritas atau komunitas adat terpencil. PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus untuk menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon tantangan dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial anak yang berbasis hak. Juga perwujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orang tua/ keluarga, dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan. Oleh karena itu, PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak, termasuk memberikan penekanan pada upaya pencegahan untuk mengurangi peningkatan anak jalanan dan pengentasan kemiskinan anak jalanan.
4.2 Saran
Solusi yang relevan untuk mengatasi makin pesatnya pertumbuhan angka keberadaan anak jalanan  Sejauh ini terdapat tiga model penanganan anak jalanan dengan pendekatan yang berbeda:
1.    Community Based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhirnya adalah anak tidak menjadi anak jalanan / sekalipun dijalan, mereka tetap berada dilingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi: pelatihan peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, dan kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang.
2.    Street Based adalah kegiatan dijalanan atau penjangkauan penanganan terhadap anak langsung dilakukan ditempat anak tersebut sering berada, kegiatan ini berupa pendamingan terhadap anak agar mendapatkan perlindungan dari orang yang berperan sebagai pengganti orang tuanya.
3.    Centre Based adalah kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah utus dengan keluarganya. panti menjadi lembaga pengganti keluarga untuk dan memenuhi kebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan, keterampilan, waktu luang, makan tempat tinggal, pekerjaan dan sebagainya.
4.    Selther Based adalah model pendekatan dengan menggunakan rumah singgah sebagai transit dari aktifitas sehari-hari anak jalanan, rumah singgah umumnya sebagai sasaran antara bag! anak untuk kembali diperkenalkan pada norma-norma keluarga.
Program penanggulangan anak jalanan harus bersifat lintas sektoral, terpadu, komprehensif dan holistik, hal tersebut mencakup :
a.    Program penegakan hukum dengan pelaku utama yaitu jajaran pemerintah daerah dan  aparat penegak hukum.
b.    Program pencegahan yang mencakup program pengentasan kemiskinan pedesaan dan perkotaan, program pcmbakuan dan penyediaan lapangan kerja melalui padat karya, program kesejahteraan sosial serta program bantuan modal usaha.
c.    Program penyembuhan dan pemulihan dengan pelaku utama Departemen Kesehatan, Departemen sosial, Departemen Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan Departemen Pendidikan Nasional.
d.    Program pemberdayaan melalui kegiatan pelatihan keterampilan dengan pelaku utama Departemen sosial, Departemen Tenaga Kerja, Lembaga Swadaya Masyarakat, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan Departemen Pendidikan Nasional.
e.    Program penunjang yang mencakup kegiatan pendataan, identifikasi masalah, penyiapan sumber daya masyarakat dan penyediaan sarana serta wahana pendukung seperti rumah tinggal, sarana mobilitas dan pondokan.









Daftar Pustaka
Jawa Pos. Jumlah Anak Jalanan Cenderung Meningkat. http://www.jawapos.co.id. Diakses 19 Nopember 2014.
Pedoman pelaksanaan PKSA. http://www.pksa-kemensos.com/.  Diakses 20 nopember 2014
Sallahuddin, Odi .2000. Anak Jalanan Perempuan. Semarang: Yayasan Setara.
Saputra, H. Masalah Anak Jalanan [1]. http://www.harjasaputra.wordpress.com. Diakses 19 nopember 2014.
St Sularto, Seandainya Aku Bukan Anakmu,Potret Kehidupan Anak Indonesia (Jakarta:Buku  Kompas , 2000).
Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Cet. II; Jakarta : Inisiasi Press, 2002) h.53.
Sulaiman Josoep.  Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Cet II: Bumi Aksara.1999), h.39.
Undang-undang dasar 1945 amandemen ke – 4.




2 komentar:

  1. http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/kisah-satu-keluarga-miliki-kelamin.html
    http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/tanda-pasangan-anda-sedang-selingkuh.html
    http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/tanda-pasangan-anda-sedang-selingkuh.html
    http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/ketika-berhubungan-seks-pria-tentu.html
    http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/unik-cara-baru-bersihkan-komedo-dengan.html

    Joint US
    - BBM : D8809807 / 2B8EC0D2
    - WA : +62813-2938-6562
    - Line : Domino1945. com
    Salam kemenangan DOMINOVIP .NET

    BalasHapus