PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Anak jalanan adalah
fenomena nyata bagian dari kehidupan. Fenomena nyata yang menimbulkan
permasalahan sosial yang komplek. Keberadaan anak jalanan diabaikan dan tidak
dianggap ada oleh sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat awam. Anak
jalanan, dipercaya semakin tahun semakin meningkat jumlahnya. Pada era
runtuhnya orde baru, terjadi krisis moneter yang membuat kemiskinan meningkat.
Salah satu dampak dari kemiskinan adalah adanya anak jalanan. Meningkatnya angka
penduduk miskin telah mendorong meningkatnya angka anak putus sekolah dan
meningkatnya anak-anak terlantar. Pada umumnya anak-anak terlantar mengalami
masalah ganda seperti kesulitan ekonomi, menderita gizi buruk, kurang perhatian
dan kasih sayang orang tua, tidak bisa mendapat layanan pendidikan secara
maksimal, dan lain sebagainya.
Jumlah anak jalanan di
Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Pada
tahun 1998, menurut Kementrian Sosial menyatakan bahwa terjadi peningkatan
jumlah anak jalanan sekitar 400%. Dan pada tahun 1999 diperkirakan jumlah anak
jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak dan 10% diantaranya adalah perempuan.
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu
mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata
terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan melainkan karena situasi dan
kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan
hak-haknya bahkan sering dilanggar.
Menurut Departemen
Sosial RI (2006:1), ketelantaran pada anak secara garis besar disebabkan oleh
dua faktor yakni (1) faktor ketidaksengajaan atau dengan kata lain karena
kondisi yang tidak memungkinkan dari orang tua atau keluarga untuk memenuhi
kebutuhan anaknya, (2) faktor kesengajaan untuk menelantarkan anaknya karena rendahnya
tanggung jawab sebagai orang tua atau keluarga terhadap anaknya. Pada dekade
terakhir, permasalahan anak terlantar menjadi salah satu permasalahan krusial
baik dilihat dari kompleksitas masalah maupun kuantitas dari anak terlantar
yang semakin meningkat. Kondisi ini didasari karena kondisi makro sosial
ekonomi yang belum kondusif. Pada sisi lain ternyata masih terdapat pemahaman
yang rendah mengenai arti penting anak oleh masyarakat, serta komitmen dan
tanggung jawab orang tua atau keluarga yang cukup rendah, sehingga menyebabkan
ketelantaran pada anak. Anak terlantar merupakan salah satu masalah
kesejahteraan sosial yang membutuhkan perhatian secara khusus. Selain karena
jumlah yang cukup besar, masalah anak terlantar memiliki lingkup dan cakupan
yang tidak bisa berdiri sendiri namun saling terkait dan saling memengaruhi
bila kebutuhan dan hak mereka tidak terpenuhi.
Seperti yang tercantum
dalam Pedoman Pelayanan Sosial Anak Terlantar (Departemen Sosial RI, 2008:1),
permasalahan anak terlantar dapat kita lihat dari berbagai perspektif,
diantaranya; 1) anak terlantar yang mengalami masalah dalam sistem pengasuhan
seperti yang dialami anak yatim piatu, anak yatim, anak piatu, anak dari orang
tua tunggal, anak dengan ayah/ibu tiri, anak dari keluarga yang kawin muda, dan
anak yang tidak diketahui asal-usulnya (anak yang dibuang orang tuanya); 2)
anak yang mengalami masalah dalam cara pengasuhan seperti anak yang mengalami tindak
kekerasan baik secara fisik, sosial maupun psikologis, anak yang mengalami
eksploitasi ekonomi dan seksual serta anak yang diperdagangkan; 3) dan anak
yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi seperti anak yang kurang gizi dan anak
yang tidak bersekolah atau putus sekolah. Hal inilah yang terjadi pada anak
jalanan. Anak jalanan merupakan salah satu bagian dari anak terlantar. Anak jalanan
adalah contoh dari anak-anak yang terlantar, baik dari pengasuhan maupun
pendidikannya. Keberadaan dan berkembangnya anak jalanan merupakan persoalan
yang perlu mendapat perhatian. Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan,
baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum
lainnya (Departemen Sosial RI, 2005: 5).
Anak jalanan mempunyai
ciri-ciri, berusia antara 6 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau
berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak
terurus, mobilitasnya tinggi. Masalah anak jalanan masih merupakan masalah
kesejarteraan sosial yang serius dan perlu mendapat perhatian. Hal ini
mengingat bahwa anak-anak yang hidup di jalan sangatlah rentan terhadap situasi
buruk, perlakuan yang salah dan eksploitasi baik itu secara fisik maupun
mental. Hal ini akan sangat mengganggu perkembangan anak secara mental, fisik,
sosial, maupun kognitif, serta anak tidak mendapatkan hak dalam memperoleh
pendidikan dan penghidupan yang layak. Kondisi yang tidak kondusif di jalanan
dengan berbagai permasalahan yang dihadapi anak akan berpengaruh pula pada kehidupan
anak di masa mendatang. UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal
1 (2) menyatakan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi”. Melihat UU
tentang perlindungan anak tersebut, seharusnya setiap anak mendapatkan hak yang
sama, tidak terkecuali bagi anak jalanan. tetapi fenomena yang ada di
masyarakat menunjukkan bahwa hak tersebut belum didapatkan oleh anak jalanan.
Anak jalanan seperti
halnya anak-anak lain, memiliki hak yang sama, yakni mendapatkan pengasuhan dan
pendidikan yang layak. Namun fenomena-fenomena keterlantaran yang terjadi di
masyarakat tersebut membuat anak jalanan harus hidup di jalanan yang jauh dari
kesejahteraan yang seharusnya mereka dapatkan. Dalam perkembangannya menuju kedewasan,
tiap anak masih sangat membutuhkan dukungan dan pendampingan dari orang tua dan
orang-orang sekitar agar mereka dapat melalui proses tumbuh kembang secara
optimal. Begitu halnya dalam proses perkembangan menuju kedewasaaan. Dalam masa
perkembangan seseorang, untuk menuju kedewasaan manusia melalui tahap transisi
dari masa anak-anak ke masa dewasa, yakni disebut dengan masa remaja. Merujuk
pada ciri-ciri anak jalanan yang dijelaskan oleh Departemen Sosial RI, bahwa
anak jalanan adalah anak yang berusia antara 6 sampai 18 tahun dan menghabiskan
banyak waktu untuk melakukan aktivitas di jalanan atau tempat-tempat umum. Dari
ciri-ciri rentang usia anak jalanan tersebut, penulis mengkategorikan anak
jalanan menjadi 2, yakni anak jalanan yang berusia anak-anak (6 – 11 tahun) dan
anak jalanan yang berusia remaja (12 – 18 tahun). Kategori ini menunjukkan bahwa
anak jalanan menurut usianya, juga mengalami tahap tumbuh kembang menuju
kedewasaan yang penting untuk diperhatikan, yakni masa remaja.
Masa remaja merupakan
masa yang penting untuk diperhatikan, karena di sinilah seseorang mengalami
proses pencarian jati diri. Banyak fenomena-fenimoena anak jalanan remaja yang
terjadi di masyarakat. Anak jalanan remaja sangatlah rawan untuk mendapatkan
pengaruh yang tidak baik dari kehidupan jalanan yang keras. Mereka akan lebih
berpotensi untuk melakukan tindak kejahatan ataupun berbagai tindakan negatif
lainnya.
Dari latar belakang
tersebut penulis tertarik untuk melakukan identifikasi permasalahan berkaitan
dengan kepedulian pemerintah terhadap anak-anak jalanan yang notabene memiliki
berbagai permasalahan baik secara pribadi maupun sosial yang dapat berpengaruh
dalam perkembangan hidup dan dalam menentukan tujuan hidup mereka.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sikap pemerintah dalam melaksanakan
fungsi dan peran dalam menangani pertumbuhan jumlah serta persoalan anak
jalanan sebagai mandat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
indonesia?
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Anak Jalanan
Menurut Departemen
Sosial RI (2005: 5), Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Anak
jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 6 sampai dengan 18 tahun, melakukan
kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan
pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi.
Selain itu, Direktorat
Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30)
memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat
umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Adapun waktu
yang dihabiskan di jalan lebih dari 4 jam dalam satu hari. Pada dasarnya anak jalanan
menghabiskan waktunya di jalan demi mencari nafkah, baik dengan kerelaan hati
maupun dengan paksaan orang tuanya. Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang sebagian waktunya mereka gunakan di jalan
atau tempat-tempat umum lainnya baik untuk mencari nafkahmaupun berkeliaran.
Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak yang rela melakukan kegiatan mencari
nafkah di jalanan dengan kesadaran sendiri, namun banyak pula anak-anak yang
dipaksa untuk bekerja di jalan (mengemis, mengamen, menjadi penyemir sepatu,
dan lain-lain) oleh orang-orang di sekitar mereka, entah itu orang tua atau
pihak keluarga lain, dengan alasan ekonomi keluarga yang rendah. Ciri-ciri anak
jalanan adalah anak yang berusia 6 – 18 tahun, berada di jalanan lebih dari 4
jam dalam satu hari, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan,
penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak
terurus, dan mobilitasnya tinggi.
2.2 Karakteristik Anak Jalanan
2.2.1 Berdasarkan Usia
Direktorat Kesejahteran
Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) memaparkan bahwa
anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah
atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka
berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Selain itu dijelaskan oleh Departemen
Sosial RI (2001: 23–24), indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak
yang berusia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.
Dari penjelasan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak jalanan
adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.
2.2.2 Berdasarkan Pengelompokan
Menurut Surbakti dkk.
(1997: 59), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak
jalanan dibedakan dalam 3 kelompok yaitu: Pertama, Children on the street,
yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak- di
jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka.
Sebagian penghasilan mereka dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu
memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan
yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
Kedua, Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh
di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih
mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak
menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari
atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada
kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial,
emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, Children from families of the
street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan.
Meskipun anak-anak ini
mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka
terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah
satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak
anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori
ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar
sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya
belum diketahui secara pasti.
Menurut penelitian
Departemen Sosial RI dan UNDP di Jakarta dan Surabaya (BKSN, 2000: 2-4), anak
jalanan dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu:
1) Anak jalanan yang hidup di jalanan,
dengan kriteria:
a) Putus
hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya
b) 8
– 10 jam berada di jalanan untuk bekerja (mengamen, mengemis, memulung) dan
sisinya menggelandang/tidur
c) Tidak
lagi sekolah
d) Rata-rata
berusia di bawah 14 tahun
2)
Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
a) Berhubungan
tidak teratur dengan orang tuanya
b) 8
– 16 jam berada di jalanan
c) Mengontrak
kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua atau saudara, umumnya di daerah
kumuh
d) Tidak
lagi sekolah
e) Pekerjaan:
penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir, dll.
f)
Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
3)
Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:
a) Bertemu
teratur setiap hari/tinggal dan tidur dengan keluarganya
b) 4
– 5 jam bekerja di jalanan
c) Masih
bersekolah
d) Pekerjaan:
penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, dll
e) Usia
rata-rata di bawah 14 tahun
4)
Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:
a) Tidak
lagi berhubungan/berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
b) 8
– 24 jam berada di jalanan
c) Tidur
di jalanan atau rumah orang tua
d) Sudah
taman SD atau SMP, namun tidak bersekolah lagi
e)
Pekerjaan: calo, mencuci bus, menyemir,
dll.
2.2.3 Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan
Psikis
Anak jalanan memiliki
ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis. Menurut Departemen Sosial RI
(2001: 23–24), karakteristik anak jalanan pada ciri-ciri fisik dan psikis,
yakni 1) Ciri Fisik: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan
berbadan kurus, pakaian tidak terururs, dan 2) Ciri Psikis meliputi mobilitas
tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, serta kreatif.
Sedang menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), anak jalanan mempunyai
ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau
berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak
terurus, mobilitasnya tinggi.
Dari beberapa sumber di
atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan berdasarkan ciri-ciri
fisik dan psikis mereka adalah:
1) Ciri-ciri fisik
a) Penampilan
dan warna kulit kusam
b) Rambut
kemerah-merahan
c) Kebanyakan
berbadan kurus
d) Pakaian
tidak terurus
2)
Ciri-ciri psikis
a) Mobilitas
tinggib) Acuh tak acuh
b) Penuh
curiga
c) Sangat
sensitif
d) Berwatak
keras
e) Kreatif
2.2.4 Berdasarkan Intensitas Hubungan
dengan Keluarga
Aktivitas utama anak
jalanan adalah berada di jalanan baik untuk mencari nafkah maupun melakukan
aktivitas lain. Hal ini membuat intensitas hubungan anak jalanan dengan
keluarga mereka kurang intensif. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23), indikator
anak jalanan menurut intensitas hubungan dengan keluarga, yaitu:
1) Masih
berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari
2) Frekuensi
dengan keluarga sangat kurang
3) Sama
sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga
Selain itu, menurut penelitian
Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2000: 2-4), intensitas hubungan anak
jalanan dengan keluarga mereka dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: putus hubungan
atau lama tidak bertemu dengan orang tua, berhubungan tidak teratur dengan
orang tua, dan bertemu teratur setiap hari atau tinggal dan tidur bersama orang
tua mereka. Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62), beberapa
macam intensitas anak jalanan dengan keluarga mereka adalah: hubungan orang tua
sudah putus, masih ada hubungan dengan orang tua tetapi tidak harmonis, maupun pulang
antara 1 sampai 3 bulan sekali. Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan
bahwa karakteristik anak jalanan berdasarkan intensitas anak jalanan berhubungan
dengan keluarga ada tiga macam, yaitu:
1) Masih
berhubungan teratur dengan orang tua atau keluarga
2) Masih
berhubungan dengan orang tua atau keluarga tetapi tidak teratur dengan
frekuensi sangat kurang
3) Sudah
tidak berhubungan lagi dengan orang tua maupun keluarga.
2.2.5 Berdasarkan Tempat Tinggal
Anak jalanan yang
ditemui memiliki berbagai macam tempat tinggal. Menurut Departemen Sosial RI
(2001: 24), indikator anak jalanan menurut tempat tinggalnya adalah:
1) Tinggal
bersama orang tua
2) Tinggal
berkelompok bersama teman-temannya
3) Tidak
mempunyai tempat tinggal
Sedangkan
menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2002: 13-15), beberapa
macam tempat tinggal anak jalanan adalah: menggelandang atau tidur di jalanan,
mengontrak kamar sendiri atau bersama teman, maupun ikut bersama orang tua atau
keluarga yang biasanya tinggal di daerah kumuh. Menurut BKSN(2000: 61-62),
beberapa tempat tinggal anak jalanan adalah:
1) bertempat
tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong
jembatan, taman, terminal, maupun stasiun;
2) bertempat
tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman; dan 3) tinggal dan
tidur bersama orang tua atau wali.
Dari
berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan beberapa tempat tinggal anak jalanan
adalah:
1) Tidak
mempunyai tempat tinggal sehingga menggelandang dan tinggal di jalanan serta
tidur di sembarang tempat
2) Mengontrak
sendiri atau bersama dengan teman
3) Tinggal
bersama orang tua atau wali.
2.2.6 Berdasarkan Aktivitas
Dari definisi anak
jalanan, dapat diidentifikasi bahwa anak jalanan menghabiskan sebagian besar
waktu mereka di jalanan. Berbagai macam aktivitas banyak dilakukan di jalanan.
Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut aktivitas
yang dilakukan oleh anak jalanan adalah antara lain memiliki aktivitas: menyemir
sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil,
mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan
payung, menjadi penghubung atau penjual jasa. Menurut Departemen Sosial RI
(2002: 13-15), aktivitas yang dilakukan anak jalanan di jalanan di antaranya
adalah bekerja baik itu mengamen, mengemis, memulung, menjual koran, mengasong,
mencuci bus, menyemir sepatu, menjadi calo, dan menggelandang. Selain itu Badan
Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62) menyebutkan bahwa beberapa
aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah bekerja sebagai pengamen,
pemulung, pengemis, penjual koran, pengasong, pencuci bus, penyemis, maupun
calo; dan menggelandang.
Dari berbagai sumber di
atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam aktivitas anak yang dilakukan
di jalanan di antaranya adalah untuk bekerja maupun sekedar menggelandang.
Aktivitas bekerja anak jalanan di antaranya adalah menyemir sepatu, mengasong,
menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan,
menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, dan menjadi
penghubung atau penjual jasa.
2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Munculnya Anak Jalanan
Departemen Sosial
(2001: 25-26) menyebutkan bahwa penyebab keberadaan anak jalanan ada 3 macam,
yakni faktor pada tingkat mikro (immediate causes), faktor pada tingkat
messo (underlying causes), dan faktor pada tingkat makro (basic
causes). a. Tingkat Mikro (Immediate Causes) Faktor pada tingkat mikro
ini yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya. Departemen
Sosial (2001: 25-26) menjelaskan pula bahwa pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi
dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga berdiri sendiri, yakni:
1) Lari
dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus,
berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
2) Sebab
dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan
dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan
berhubungan dengan keluarga atau tetangga, terpisah dengan orang tua,
sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang
mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial. Hal ini dipengaruhi
pula oleh meningkatnya masalah keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan
pengangguran, perceraian, kawin muda, maupun kekerasan dalam keluarga.
3) Melemahnya
keluarga besar, dimana keluarga besar tidak mampu lagi membantu terhadap
keluarga-keluarga inti, hal ini diakibatkan oleh pergeseran nilai, kondisi
ekonomi, dan kebijakan pembangunan pemerintah.
4) Kesenjangan
komunikasi antara orang tua dan anak, dimana orang tua sudah tidak mampu lagi
memahami kondisi serta harapan anak-anak, telah menyebabkan anak-anak mencari kebebasan.
2.4 Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan
sosial adalah mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai
tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik, sedangkan menurut rumusan Undang-Undang
Republik Indonesia No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kesejahteraan sosial pasal 2 ayat 1, adalah: “Kesejahteraan sosial adalah suatu
tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi
oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir dan batin, yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi
diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta
kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.
Salah
satu ciri ilmu kesejahteraan sosial adalah upaya pengembangan metodologi untuk
menangani berbagai macam masalah sosial, baik tingkat individu, kelompok,
keluarga maupun masyarakat ( Adi, 1994: 3-5). Pengertian Kesejahteraan Sosial
menurut beberapa ahli :
1. Arthur
Dunham: Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang
terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial melalui
pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhankebutuhan di dalam
beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak, kesehatan, penyesuaian
sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan dan hubungan-hubungan sosial.
Pelayanan kesejahteraan sosial memberi perhatian utama terhadap
individu-individu, kelompok-kelompok, komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan
penduduk yang lebih luas; pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan,
penyembuhan dan pencegahan.
2. Harold
L. Wilensky dan Charles N. Lebeaux: Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem
yang terorganisir dari usaha-usaha pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial,
untuk membantu individuindividu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta
kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar individu dan relasi-relasi sosialnya
memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan
kemampuankemampuannya serta meningkatkan atau menyempurnakan kesejahteraan
sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Walter
A.Friendlander: Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari
pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bermaksud untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai standar-standar kehidupan
dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan perorangan dan sosial
yang memungkinkan mereka memperkembangkan segenap kemampuan dan meningkatkan
kesejahteraan mereka selaras dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga maupun
masyarakat.
4. Perserikatan
Bangsa-Bangsa: Kesejahteraan sosial adalah suatu kegiatan yang terorganisir
dengan tujuan membantu penyesuaian timbal balik antara individu-individu dengan
lingkungan sosial mereka. Tujuan ini dicapai secara seksama melalui tehnik
tehnik dan metode-metode dengan maksud agar memungkinkan individuindividu,
kelompok-kelompok maupun komunitas-komunitas memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
memecahkan masalah-masalah penyesuian diri mereka terhadap perubahan pola-pola
masyarakat, serta melalui tindakan kerjasama untuk memperbaiki kondisi-kondisi
ekonomi dan sosial. Kesejahteraan sosial sebagai fungsi terorganisir adalah
kumpulan kegiatan yang bermaksud untuk memungkinkan individu-individu,
keluarga-keluarga, kelompok-kelompok dan komunitas-komunitas menanggulangi
masalah sosial yang diakibatkan oleh perubahan kondisi-kondisi. Tetapi
disamping itu, secara luas, kecuali bertanggung jawab terhadap
pelayanan-pelayanan khusus, kesejahteraan sosial berfungsi lebih lanjut ke
bidang yang lebih luas di dalam pembangunan sosial suatu negara. Pada
pengertian yang lebih luas, kesejahteran sosial dapat memainkan peranan penting
dalam memberikan sumbangan untuk secara efektif menggali dan menggerakkan
sumber-sumber daya manusia serta sumber-sumber material yang ada disuatu negara
agar dapat berhasil menanggulangi kebutuhan-kebutuhan sosial yang ditimbulkan
oleh perubahan, dengan demikian berperan serta dalam pembinaan bangsa.
5. Alfred
J.Khan: Kesejahteraan sosial terdiri dari program-program yang tersedia selain
yang tercakup dalam kriteria pasar untuk menjamin suatu tindakan kebutuhan
dasar seperti kesehatan, pendidikan kesejahteraan, dengan tujuan meningkatkan
derajat kehidupan komunal dan berfungsinya individual, agar dapat mudah
menggunakan pelayanan-pelayanan maupun lembaga-lembaga yang ada pada umumnya
serta membantu mereka yang mengalami kesulitan dan dalam pemenuhan kebutuhan
mereka (Sumarnonugroho,1987:28-35).
2.5
Usaha Kesejahteraan Sosial
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No.6 Tahun 1974, Usaha-Usaha Kesejahteraan
sosial adalah semua upaya, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk
mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan
sosial (Sumarnonugroho, 1987:39). Usaha kesejahteraan sosial mengacu pada
program, pelayanan, dan berbagai kegiatan yang secara konkret berusaha menjawab
kebutuhan ataupun masalah-masalah yang dihadapi anggota masyarakat. Usaha kesejahteraan
sosial dapat diarahkan pada individu, keluarga, kelompok atau komunitas.
Beberapa
contoh dari Usaha kesehjateraan sosial yang searah dengan tujuan pembangunan
ekonomi adalah:
a. Beberapa
tipe unit usaha kesejahteraan sosial yang secara langsung memberikan sumbangan
terhadap peningkatan produktifitas individu, kelompok ataupun masyarakat
contohnya adalah pelayanan konseling pada generasi muda dan lain-lain.
b. Jenis
usaha kesejahteraan sosial yang berupaya untuk mencegah atau meminimalisir
hambatan (beban) yang dapat dihadapi oleh para pekerja (yang masih produktif).
c. Jenis
usaha kesejahteraan sosial yang memfokuskan pada pencegahan dampak negatif
urbanisasi dan industrialisasi pada kehidupan keluarga dan masyarakat atau
membantu mereka agar dapat mengidentifikasi dan mengembangkan “pemimpin” dari
suatu komunitas lokal.
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1
Aspek Regulasi Anak Jalanan
Pasal
34 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen keempat disebutkan bahwa "fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara". Perlindungan hak-hak
anak juga diatur dalam sejumlah undang-undang yang terkait yaitu Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen
kedua disebutkan "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi".
Selanjutnya dijelaskan
bahwa perlindungan terhadap anak dan kesejahteraan anak di Indonesia telah
tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Dalam Undang-Undang RI
No. 23 tahun 2002 pasal 4 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada pasal 11 dijelaskan pula bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan
memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi,
dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
perkembangan diri (Redaksi Sinar Grafika, 2003: 6-7).
Dalam Undang-Undang RI
No. 23 tahun 2002 dijelaskan pula pada pasal 21 bahwa negara dan pemerintah
berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi anak
tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Undang-Undang inilah yang menjadi dasar pemerintah untuk melindungi dan
memberdayakan anak-anak bangsa, tidak terkecuali anak jalanan yang notabene
kurang memperoleh hak mereka sebagai seorang anak.
Tahun 1990 Negara
Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak kedalam Keputusan Presiden (Kepres)
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On TheRights Of The Child
(Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Setelah peratifikasian dilakukan, maka secara
hukum menimbulkan kewajiban kepada negara Indonesia untuk mengimplementasikan
hak-hak anak tersebut.11 Akhirnya Tahun 2002 dibentuklah UndangUndang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) yang disahkan dan diberlakukan di
Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pada
penjelasan umumnya menyebutkan anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Di Indonesia, Hak asasi
anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari
sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi serta berhak atas
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.
Selain dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 sampai 34 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002, hukum di Indonesia juga telah membebankan kepada orang tua, keluarga, dan
masyarakat untuk bertanggung jawab dalam menjaga serta memelihara hak anak.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak. Negara maupun
pemerintahbertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak
terutama dalam menjamin pertumbuhan serta perkembangan anak secara optimal dan
terarah. Dengan dikeluarkannya salah satu pengaturan tentang anak yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tersebut,
diharapkan adanya kejelasan tentang batasan bagaimana anak dikatakan sebagai
pekerja atau bukan. Kerangka Konseptual anak jalanan sebagai berikut :
a. Menurut
pasal 1 Konvensi Hak Anak, Anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18
tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagianak ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal.13
b. Pasal
1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mengatakan
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)
tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.
c. Pasal
1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya.
d. Pasal
1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
e. Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,termasuk anak yang masih dalam
kandungan (pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
f. Anak
adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, mereka memiliki
peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa yang akan
datang. Anak agar kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu
mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala
bentuk tindakan kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi.
g. Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
h. Anak
jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu
pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki
hubungan dengan keluarganya.
i. Anak
jalanan adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan
sebagian atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan guna
mendapatkan uang atau mempertahankan hidupnya.
j. Anak
jalanan adalah yang berusia di bawah 18 tahun yang sebagian besar waktu dan
aktivitasnya dihabiskan di jalanan. l. Anak jalanan adalah laki-laki atau
perempuan yang menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk bekerja dan hidup dijalanan dan di tempat-tempat umum
seperti pasar, terminal, stasiun, dan taman kota.
k. Hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara (pasal 1
angka 12 UU Nomor 23 Tahun 2002).
Hak-hak
anak ini diatur dalam pasal 4 sampai pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Hak-hak anak itu seperti:
b. Hak
untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4).
c. Hak
untuk mendapatkan nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
(Pasal5).
d. Hak
untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya,dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).
e. Hak
untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri
(Pasal 7 angka (1) ).
f.
Hak untuk diasuh sebagai anak asuh atau
diangkat sebagai anak angkat (Pasal 7 angka (2) ).
g. Hak
untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan
fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).
h. Hak
untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang
sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan
tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).
i.
Hak untuk mendapat perlindungan dari
perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, serta perlakuan salah
lainnya (Pasal 13 angka (1) )
j.
Hak untuk memperoleh perlindungan dari
penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata,
kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan peperangan
(Pasal 15).
3.2
Aspek Aktor atau Kelembagaan yang Terlibat dalam Penanganan Anak Jalanan
Mencermati permasalahan
anak yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, atas inisiatif
Departemen Sosial RI, Tokoh Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi non
Pemerintah dan Pemerintah, Media Massa, dan kalangan profesi serta dukungan
United Nations Children’s Fund (UNICEF), pada tanggal 26 Oktober 1998
dibentuklah Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak).
Perlindungan anak di Indonesia dalam penyelenggaraannya memiliki asas dan
landasan yang kuat. Penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia berasaskan
pada Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 serta memiliki prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang
meliputi:
d. Prinsip
Non Diskriminasi. Prinsip ini artinya tidak membedakan anak berdasarkan asal
usul, suku, agama, ras dan sosial ekonomi.
e. Prinsip
Kepentingan yang terbaik bagi anakPrinsip ini mempunyai arti bahwa dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,masyarakat,badan
legislatif,dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus
menjadi pertimbangan utama.
f. Prinsip
untuk hidup,kelangsungan hidup dan perkembangan. Prinsip ini maksudnya hak
asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua.
g. Prinsip
penghargaan terhadap pendapat anak. Penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam mengambil keputusan terutama jika
menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Anak agar bisa menjadi generasi
penerus keluarga dan bangsa yang kuat, maka hak-hak mereka haruslah dilindungi
oleh pihak-pihak yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan
perlindungan anak seperti orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan juga
negara.
Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun
2010 tentang Program Pembangunan yang
Berkeadilan ditetapkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai
program prioritas nasional yang meliputi Program Kesejahteraan Sosial Anak
Balita, Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar, Program Kesejahteraan
Sosial Anak Jalanan, Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan
Hukum, Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Kecacatan dan Program
Kesejahteraan Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.
Departemen Sosial RI melalui
Kementerian Sosial (2010: 10) meluncurkan Program PKSA Kementerian Sosial RI
dalam upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan
masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan anak meliputi
subsidi kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial, penguatan orang
tua/keluarga dan lembaga kesejahteraan sosial. Selain itu, dalam pedoman
pelaksanaan PKSA Kementerian Sosial RI (2010: 10), dijelaskan pula bahwa PKSA
dibagi menjadi 6 kelompok (kluster) program, yaitu:
a. Program
Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKS-AB)
b. Program
Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar (PKS-Antar)
c. Program
Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS- Anjal)
d. Program
Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (PKS- ABH)
e. Program
Kesejahteraan Sosial Anak dengan Kecacatan (PKS-ADK)
f. Program
Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Perlindungan Khusus (PKS-AMPK)
Hal ini menunjukkan
bahwa anak jalanan merupakan salah satu sasaran pemerintah dalam Program
Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) ini. Disebutkan pula dalam pedoman PKSA
Kementerian Sosial RI (2010:34) bahwa, lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang
menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak jalanan, seperti
Rumah Singgah, Rumah Perlindungan Anak dan lembaga sejenis lainnya.
Peran Kementerian Sosial
dalam memberdayakan anak jalanan,
Program dan kegiatan Bidang Sosial dalam memberdayakan anak
jalanan, Peran LSM dalam memberdayakan
anak jalanan, Hasil kemitraan antara Kementerian Sosial dalam memberdayakan
anak jalanan. Bimbingan LSM, rumah singgah ataupun lembaga sosial lainnya yang
diberikan kepada anak jalanan yaitu: a) bimbingan moral dan mental, b)
bimbingan sosial, c) bimbingan hukum, d) bimbingan agama, dan e) bimbingan
kesehatan. Sedangan pelatihan yang diberikan kepada anak jalanan meliputi: a)
pelatihan otomotif, b) pelatihan mengemudi, c) pelatihan elektronika.
Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) sesuai undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang desentralisasi
pemerintahan daerah melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan, Kementrian
Agama, Kepolisian, Dinas Pendidikan, dan Satpol PP dalam memberikan pembinaan dan bimbingan anak
jalanan. Sedangkan untuk kegiatan pelatihan, dinas Sosial dalam memberdayakan
anak jalanan membuat program dan kegiatan bidang sosial dalam memberdayakan
anak jalanan, LSM dalam memberdayakan anak jalanan dan hasil kemitraan antara
Kementerian Sosial, dinas sosial, SKPD dengan lembaga swadaya masyarakat atau
berbagai komunitas yang peduli terhadap pemberdayaan anak jalanan yang mengajak
kalangan profesional untuk bekerjasama, seperti lembaga pelatihan mengemudi,
elektronika, dan otomotif untuk memperbaiki masa depan anak jalanan dan
mewujudkan kesejahteraan sosial disegala aspek tatanan masyarakat.
3.3
Aspek Pendanaan
Sumber
pendanaan tidak semata bertumpu pada APBN tetapi menggalang juga kerjasama luar
negeri, APBD, dan dukungan organisasi non-pemerintah dalam negeri maupun
internasional, termasuk sumber pendanaan Corporate Social Responsibilty.
Sumber
dana untuk kegiatan pelatihan anak jalanan dipengaruhi oleh faktor pendorong
dalam pemberdayaan anak jalanan antara lain: a) adanya peran aktif LSM, b)
koordinasi dengan SKPD lain, c) tersedianya dana walaupun terbatas, d) adanya
donatur dari masyarakat dan swasta. Sedangkan faktor penghambat diantaranya: a)
terbatasnya dana, sarana dan prasarana, b) terbatasnya sumber daya manusia, dan
c) rendahnya kesadaran anak jalanan untuk mengikuti pelatihan.
Pengembangan
Kemampuan Teknis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) dalam pelaksanaan
program PKSA adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
personil dalam menyelenggarakan setiap tahapan pelayanan PKSA termasuk dalam
pencarian sumber pendanaan program. Upaya tersebut meliputi antara lain:
g. Pembuatan
dan pengajuan proposal pencarian dana kepada lembaga-lembaga sosial, nasional
maupun internasional
h. Pembuatan
dan pengajuan proposal pencarian dana kepada lembaga-lembaga usaha yang
memiliki kepedulian sosial, termasuk upaya pemanfaatan kewajiban penyisihan dana
untuk CSR (Corporate Social Responsibilities)
i. Pembuatan
dan pengajuan proposal pencarian dana dari sumber Anggaran Pendapatan & Belanja
Daerah (APBD)
j. Penggalangan
dana masyarakat
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Latar belakang anak
menjadi anak jalanan, mempengaruhi pembentukan aspirasinya. Latar belakang anak
menjadi anak jalanan meliputi awal anak menjadi anak jalanan yang merupakan
motif anak turun ke jalan, pekerjaan orang tua yang menggambarkan kondisi
perekonomian keluarga, pola asuh yang diterapkan dan berbagai pengalaman yang
dialami anak selama hidupnya. Beberapa penyebab yang mengawali anak
beraktifitas di jalanan antara lain adalah adanya modeling perilaku
keluarga/saudara, keinginan untuk mandiri secara ekonomi dari orang tua, dan
adanya paksaan dari orang tua. Dibalik kehidupan jalanan yang sulit, ada sebuah
harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Aspirasi sesungguhnya
didasari oleh kebutuhan dasar manusia untuk berprestasi (need for
achievement) yaitu kebutuhan untuk mewujudkan keinginan dan berbuat yang
lebih baik dari keadaan sekarang. Aspirasi hidup anak jalanan terdiri dari
aspirasi pendidikan dan aspirasi pekerjaan, serta harapan-harapan yang pada
intinya menginginkan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan di jalanan.
Faktor personal berasal dari diri anak, sementara faktor situasional berasal
dari lingkungan dalam hal ini berkaitan dengan pemerintah sebagai pemegang
mandat dari undang-undang dan lembaga sosial beserta masyarakat umum.
Pemerintah melalui
Kementrian Sosial mengeluarkan kebijakan, strategi dan program yang mampu
mengurangi gap kesenjangan sosial anak jalanan. Perspektif analisis masalah
dan kebutuhan, sistem penetapan target sasaran, pola operasional layanan,
keberlanjutan layanan, dan sistem manajemen pelaksanaan layanan. Dalam hal ini
pemerintah mengeluarkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang mulai
dikembangkan dan diuji cobakan untuk penanganan anak jalanan di lima wilayah. Belajar
dari pengalaman implementasi awal tersebut, mulai 2010, layanan PKSA telah
diperluas jangkauan target sasaran maupun wilayahnya, meliputi anak balita
terlantar; anak jalanan dan anak terlantar; anak yang berhadapan dengan hukum;
anak dengan kecacatan; serta anak yang membutuhkan perlindungan khusus lainnya
seperti anak yang berada dalam situasi darurat, anak yang menjadi korban tindak
pidana perdagangan orang, korban kekerasan dan eksploitasi seksual, eksploitasi
ekonomi, korban penyalahgunaan narkoba/ zat adiktif, penderita HIV/AIDS, dan
anak dari kelompok minoritas atau komunitas adat terpencil. PKSA dikembangkan
dengan perspektif jangka panjang sekaligus untuk menegaskan komitmen
Kementerian Sosial untuk merespon tantangan dan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial
anak yang berbasis hak. Juga perwujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial
mendorong perubahan paradigma dalam pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat,
penguatan tanggung jawab orang tua/ keluarga, dan perlindungan anak yang
bertumpu pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan
dasar anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan melalui tabungan. Oleh
karena itu, PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak, termasuk
memberikan penekanan pada upaya pencegahan untuk mengurangi peningkatan anak
jalanan dan pengentasan kemiskinan anak jalanan.
4.2
Saran
Solusi yang relevan
untuk mengatasi makin pesatnya pertumbuhan angka keberadaan anak jalanan Sejauh ini terdapat tiga model penanganan anak
jalanan dengan pendekatan yang berbeda:
1. Community
Based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik
beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan
akhirnya adalah anak tidak menjadi anak jalanan / sekalipun dijalan, mereka
tetap berada dilingkungan keluarga. Kegiatannya biasanya meliputi: pelatihan
peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, dan
kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan waktu luang.
2. Street
Based adalah kegiatan dijalanan atau penjangkauan penanganan terhadap anak
langsung dilakukan ditempat anak tersebut sering berada, kegiatan ini berupa
pendamingan terhadap anak agar mendapatkan perlindungan dari orang yang
berperan sebagai pengganti orang tuanya.
3. Centre
Based adalah kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah utus dengan
keluarganya. panti menjadi lembaga pengganti keluarga untuk dan memenuhi
kebutuhan anak seperti kesehatan, pendidikan, keterampilan, waktu luang, makan
tempat tinggal, pekerjaan dan sebagainya.
4. Selther
Based adalah model pendekatan dengan menggunakan rumah singgah sebagai
transit dari aktifitas sehari-hari anak jalanan, rumah singgah umumnya sebagai
sasaran antara bag! anak untuk kembali diperkenalkan pada norma-norma keluarga.
Program penanggulangan anak jalanan harus bersifat lintas
sektoral, terpadu, komprehensif dan holistik, hal tersebut mencakup :
a. Program
penegakan hukum dengan pelaku utama yaitu jajaran pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
b. Program
pencegahan yang mencakup program pengentasan kemiskinan pedesaan dan perkotaan,
program pcmbakuan dan penyediaan lapangan kerja melalui padat karya, program
kesejahteraan sosial serta program bantuan modal usaha.
c. Program
penyembuhan dan pemulihan dengan pelaku utama Departemen Kesehatan, Departemen
sosial, Departemen Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan
Departemen Pendidikan Nasional.
d. Program
pemberdayaan melalui kegiatan pelatihan keterampilan dengan pelaku utama
Departemen sosial, Departemen Tenaga Kerja, Lembaga Swadaya Masyarakat,
Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan Departemen Pendidikan Nasional.
e. Program
penunjang yang mencakup kegiatan pendataan, identifikasi masalah, penyiapan
sumber daya masyarakat dan penyediaan sarana serta wahana pendukung seperti
rumah tinggal, sarana mobilitas dan pondokan.
Daftar Pustaka
Jawa Pos. Jumlah Anak Jalanan Cenderung Meningkat.
http://www.jawapos.co.id. Diakses 19 Nopember 2014.
Sallahuddin, Odi .2000. Anak Jalanan Perempuan.
Semarang: Yayasan Setara.
Saputra, H. Masalah Anak Jalanan [1]. http://www.harjasaputra.wordpress.com.
Diakses 19 nopember 2014.
St Sularto, Seandainya
Aku Bukan Anakmu,Potret Kehidupan Anak Indonesia (Jakarta:Buku
Kompas , 2000).
Suharsono, Mencerdaskan
Anak, (Cet. II; Jakarta : Inisiasi Press, 2002) h.53.
Sulaiman Josoep. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Cet II: Bumi
Aksara.1999), h.39.
Undang-undang dasar 1945 amandemen ke – 4.

http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/kisah-satu-keluarga-miliki-kelamin.html
BalasHapushttp://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/tanda-pasangan-anda-sedang-selingkuh.html
http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/tanda-pasangan-anda-sedang-selingkuh.html
http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/ketika-berhubungan-seks-pria-tentu.html
http://sisisusu260.blogspot.com/2017/11/unik-cara-baru-bersihkan-komedo-dengan.html
Joint US
- BBM : D8809807 / 2B8EC0D2
- WA : +62813-2938-6562
- Line : Domino1945. com
Salam kemenangan DOMINOVIP .NET
thanks . Bermanfaat sekali
BalasHapus